Kamis, 31 Januari 2013

Mencukur Bulu Kemaluan

Bagi manusia normal rambut akan tumbuh di beberapa bagian tubuh. Baik yang nampat maunpun tersembunyi. Bagian tubuh yang terakhir muncul di sekitar alat vital, baik lelaki maupun perempuan. Menurut Prof. Abdul Jawwad Khalaf dalam buku berjudul as-sya'ru wa ahkamuhu fi al-Fiqh al-islami, islam mengajarkan  agar bulu-bulu tersebut dicukur secara rutin. Ini sesuai dengan hadist yang disebutkan oleh hkhari dari Abdullah bin Umar. Rasulullah SAW menyatakan, mencukur bulu kemaluan termasuk sunah yang dianjurkan dan bagian dari fitrah manusia.
Banyak manfaat dari anjuran ini, paling utama, soal kebersihan dan kesehatan. Berneda dengan tradisi yang berlaku di zaman Mesir dan Yunani kuno. Kegiatan mencukur bulu tersebut hanya boleh dilakukan oleh wanita tunasusila. Menurut adat kedua peradaban iti, ketentuan ini sebagai tanda dan identifikasi atau profesi amoral yang mereka lakoni. Kepercayaan itu masih berlaku disebagian perempuan saat ini. Mereka menganggap mencukur gulu tak sejalan dengan normal sosial.
Para Ulama sepakat terkait hukumnya yang sunah. Tapi, merekaberselisih pandangan manakah cara yang dianggap lebih utama antara mencukur atau mencabut. Menurut mazhab Hanafi, sunah yang dianjurkan ialah mencabut. Mazhab Maliki berpendapat, sunah membersihkan bulu disekitar alat vital tersebut justru bukan dengan mencabut. Selain melalui cara iti boleh dan sangat ditekankan, seperti mencukur.
Mazhab Syafi'i membedakan antara Muslimah yang masih muda atau lajang dan perempuan yang sudah lanjut usia. Bagi mereka yang masih muda, mazhab syafii merekomendasikan cara mencabut, sementara bagi lansia ialah metode cukur.
Metode membersihkan bulu disekitar alat vital yang utama dalam perpektif Mazhab Hambali, ialah mencukur. Ini seperti yang dinukilkan dan diamini oleh Komite Tetap Kajian dan fatwa Arab Saudi. Lembaga ini kemudian mengemukakan deretan hikmah dan manfaat di balik anjuran mencukur tersebut yakni menjaga kebersihan kulit di sekitar daerah vital. membantu meningkatkan pembulu darah saat gairah seksual, dan tentunya menghindari penyakit akibat bakteri yang tumbuh dan berkembang di bulu-bulu tersebut. Soal waktu pencukuran hendaknya dilakukan seraca rutin dalam rentang 40 hari.
Namun, soal pembatasan waktu itu imam an-Nafrani dari mazhab Maliki di kitabnya berjudul al-Fawakih ad-Dawani memandang sangat fleksibel. Tidak perlu terpatok pada 40 hari. Waktunya disesuaikan dengan kebutuhan. Tentunya, tingkat kebutuhannya berbeda antara satu dan lainnya. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh imam al-Iraqi. Dalam kitab Tharh at-Tatsrib, ia mengatakan, tak ada pembatasan waktu kapan harus dicukur. Selama dianggap butuh dan telah memanjang, segeralah mencukurnya, tulisnya
Eksekusi pencukuran tersebut, kata Imam Nawawi, harus dilakukan sendiri oleh orang yang bersangkutan. Hal ini tidak boleh dilakukan oleh orang lain kecuali suaminya sendiri, itu pun hukumnya masih makruh. Dalam kondisi tertentu, seperti ketidakmampuan si perempuan akibat sakit atau cacat permanen, pencukuran bulu tersebut boleh dilakukan oleh ibu atau saudara kandungnya. Tulisan ini disalin dari Harian Republika tanggal 1 Februari 2013 / 20 Rabiul awal 1434 H. hal 10 'FIKIH MUSLIMAH oleh Nashih Nashrullah